Tia AFI : Hidayah Itu Akhirnya Datang Juga
NAMA Saya Theodora Meilani Setiawati, namun akrab dikenal dengan nama Tia AFI, dilahirkan di sebuah kota yang tenang. Tepatnya di Kota Solo Jawa Tengah, tanggal 7 Mei 1982 dari pasangan orang tua yang berbahagia. Ayahku bernama Bambang Sutopo (46), sedangkan ibuku tercinta bernama Rini Sudarwati (42). Kota ini tidak jauh dari Kota Yogyakarta, bila naik mobil bisa ditempuh selama satu jam setengah. Ayahku seorang penganut agama Nasrani yang sangat taat, demikian pula ibuku. Sehingga, ketika aku dilahirkan 22 tahun yang silam, sudah barang tentu saya hidup mengikuti agama keyakinan ayah dan ibuku. Bahkan sesekali dalam napasku terbiasa dengan kalimat-kalimat yang mengagungkan Tuhan. Bahkan ada yang berkumandang di sekelilingku dengan memperdengarkan lagu-lagu puja-puji terhadap Tuhan.
Sebagai anak pertama dalam keluarga, konon ekonomi keluargaku belumlah terlalu mapan. Keadaan saat itu memang serbasulit, tetapi ayah dan ibu tidak putus asa. Saat dilahirkan, ibuku tidak bisa langsung membawa pulang sang bayi yang montok dan cantik, karena tidak cukup untuk menebus biaya melahirkan di rumah sakit.
Tetapi ayahku tidak kalah semangat, ia lalu meminjam uang secukupnya pada seniman kawakan Srimulat, Bu Jujuk. Atas jasa beliaulah kemudian bayi yang diberi nama lengkap Theodora Meilani Setiawati itu, bisa meninggalkan rumah sakit.
Streaming Final AFI Indosiar
untuk lebih mengetahui profile Tia AFI dipanggung
Insya Allah dimasa-masa yad Tia AFI membawakan Nasyid Islami
Memasuki sekolah SD hingga SMP saya tumbuh sebagaimana anak kebanyakan. Ayahku yang beda keyakinan dengan ibuku meski sama-sama Nasrani, melewati hari-harinya dengan tetap saling menghormati satu sama lain. Ibu rajin ke gereja, ayahku pun demikian. Mau tidak mau, saya pun sering diajak oleh ayah atau ibu ke gereja.
Di sisi lain saya tentu tumbuh di lingkungan yang kedua orang tuaku berharap kelak, dapat menjadi anak yang berguna bagi agama yang dianut oleh keluargaku. Tetapi harapan tidak berarti sebuah anjuran. Karena ternyata di dalam keluargaku, diberi kebebasan dalam memilih cita-cita di kemudian hari. Juga bebas meyakini agama yang dianut masing-masing asal bisa bertanggung jawab dengan agama yang diyakini tersebut.
Sifat demokrasi yang tumbuh dalam keluargaku inilah, mempermudah langkahku dalam pencarian keyakinan yang mendektai kebenaran yang hakiki. Semua agama memang sama. Agama adalah persoalan keyakinan, yang dipercaya mampu membawa kemaslahatan. Membawa kita kearah kebaikan. Sebuah pedoman agar kita tidak tersesat. Dan persoalan ketenangan batin.
Tetapi begitulah yang namanya hidayah jika sudah atas kehendak-Nya, insya Allah dijalani dengan sebaik-baiknya oleh umat yang menjalaninya. Setelah saya memeluk agama Islam, saya tidak ingin mengganti namaku, karena akan berefek pada semua identitasku yang formal seperti keterangan di rapor sekolahku. Biarlah namaku seperti yang sekarang. Toh tidak memberatkan.
Suatu hari di bulan Ramadan beberapa tahun silam, ketika itu saya masih duduk di bangku SMA kelas satu. Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang karena kekaguman yang sangat luar biasa. Ketika senja mulai turun, saat bedug magrib bertalu dan suara azan berkumandang, berbondong-bondong orang-orang bersatu untuk berbuka puasa dan shalat Maghrib. Lalu bersama-sama pula berangkat ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih. Alangkah indahnya kebersamaan itu, sambil mengenakan mukena warna putih. Pikirku alangkah sucinya saat menghadap Tuhan.
Lingkungan sekolahku pun ikut mendukung, teman-temanku hampir semua beragama Islam, tiba-tiba saya iri ingin menikmati kebersaman itu, yang sebelumnya tidak saya temui di agama keyakinan terdahulu. Saya ingin merasakan bagaimana puasa, bagaimana mendirikan shalat Tarawih bersama-sama. Pertama-tama saya minta dituntun teman, tetapi lama-kelamaan saya memperoleh kekuatan untuk bicara pada kedua orang tuaku. Sampai suatu hari saya sampaikan niat untuk memeluk agama Islam. Kaget juga saat niat baik itu disampaikan, terutama saya melihat reaksi ibu dan ayah.
Lama mereka terdiam. Kami tanpa kata-kata.
Akhirnya ibu berkata tulus, kalau kamu sudah yakin dengan pilihanmu, jangan sampai mempermainkan agama. Dan asalkan kamu menjalankannya dengan segala tanggung jawab silakan saja. Saya tahu ibu berat melepas anaknya untuk berseberangan keyakinan dengan dirinya. Mungkin ibu menyadari, di antara mereka (ayah dan ibu) saja sudah berseberangan, tetapi bisa hidup rukun.
Saya seperti memperoleh setetes air dipadang pasir yang gersang. Air itu saya teguk dengan lahap, dan berdesis Allahu Akbar tanpa sadar saya bersujud, karena kedua orang tuaku ternyata merestui akan pilihan keyakinanku. Sebelumnya memang sudah saya bayangkan tidak akan sulit saya peroleh, karena kehidupan beragama dalam keluargaku sudah tampak berwarna sejak sebelum saya dilahirkan ke bumi. Maka begitu saya memperoleh izin dan tanpa ada intervensi dari pihak luar, sejak itulah saya mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibimbing oleh seorang pemuka agama di Solo. Sejak itulah saya terus belajar sendiri dan banyak bertanya pada teman-teman sepergaulanku.
Ketika saya putuskan untuk memeluk agama Islam, saya tidak dalam posisi dipengaruhi oleh siapa pun, dan tidak juga oleh pacar yang kebetulan sekarang ini sama-sama beragama Islam. Karena waktu itu saya belum bertemu Mas Endy (30). Oleh sebab itu agama dalam keluargaku sekarang ini semakin berwarna. Tetapi tetap rukun dalam tiga agama yang dianut, ada Islam, ada Katolik, dan Protestan.
Sekarang dalam perjalanan keislaman saya yang masih banyak kekurangannya, tidak henti-hentinya saya selalu memohon bimbingan-Nya agar saya senantiasa diberi kekuatan untuk menjalankan agamaku dengan sepenuh hati. Puasa yang kini saya jalani di Jakarta, memang nikmat, tetapi lebih nikmat saya menjalankan puasa itu di rumah sendiri di Solo. Kalau di Solo, ibu selalu ikut bangun memasak dan membangunkan untuk sahur, padahal ibu agamanya tidak sama dengan saya. Saya terkadang rindu masakan ibu, saat-saat puasa seperti sekarang ini.
Di sini di Jakarta, saya masak seadanya, banyaknya beli jadi. Dan kebanyakan pula disediakan di Indosiar untuk mengisi acara "Pondok AFI" saat sahur menjelang. Saya hanya selalu berusaha agar puasa yang saya lakukan tiap tahun meningkat kadar kualitas menjalankannya. Dan berharap dosa-dosa yang pernah diperbuat dapat diampuni Allah SWT. Amin.
NAMA Saya Theodora Meilani Setiawati, namun akrab dikenal dengan nama Tia AFI, dilahirkan di sebuah kota yang tenang. Tepatnya di Kota Solo Jawa Tengah, tanggal 7 Mei 1982 dari pasangan orang tua yang berbahagia. Ayahku bernama Bambang Sutopo (46), sedangkan ibuku tercinta bernama Rini Sudarwati (42). Kota ini tidak jauh dari Kota Yogyakarta, bila naik mobil bisa ditempuh selama satu jam setengah. Ayahku seorang penganut agama Nasrani yang sangat taat, demikian pula ibuku. Sehingga, ketika aku dilahirkan 22 tahun yang silam, sudah barang tentu saya hidup mengikuti agama keyakinan ayah dan ibuku. Bahkan sesekali dalam napasku terbiasa dengan kalimat-kalimat yang mengagungkan Tuhan. Bahkan ada yang berkumandang di sekelilingku dengan memperdengarkan lagu-lagu puja-puji terhadap Tuhan.
Sebagai anak pertama dalam keluarga, konon ekonomi keluargaku belumlah terlalu mapan. Keadaan saat itu memang serbasulit, tetapi ayah dan ibu tidak putus asa. Saat dilahirkan, ibuku tidak bisa langsung membawa pulang sang bayi yang montok dan cantik, karena tidak cukup untuk menebus biaya melahirkan di rumah sakit.
Tetapi ayahku tidak kalah semangat, ia lalu meminjam uang secukupnya pada seniman kawakan Srimulat, Bu Jujuk. Atas jasa beliaulah kemudian bayi yang diberi nama lengkap Theodora Meilani Setiawati itu, bisa meninggalkan rumah sakit.
Streaming Final AFI Indosiar
untuk lebih mengetahui profile Tia AFI dipanggung
Insya Allah dimasa-masa yad Tia AFI membawakan Nasyid Islami
Memasuki sekolah SD hingga SMP saya tumbuh sebagaimana anak kebanyakan. Ayahku yang beda keyakinan dengan ibuku meski sama-sama Nasrani, melewati hari-harinya dengan tetap saling menghormati satu sama lain. Ibu rajin ke gereja, ayahku pun demikian. Mau tidak mau, saya pun sering diajak oleh ayah atau ibu ke gereja.
Di sisi lain saya tentu tumbuh di lingkungan yang kedua orang tuaku berharap kelak, dapat menjadi anak yang berguna bagi agama yang dianut oleh keluargaku. Tetapi harapan tidak berarti sebuah anjuran. Karena ternyata di dalam keluargaku, diberi kebebasan dalam memilih cita-cita di kemudian hari. Juga bebas meyakini agama yang dianut masing-masing asal bisa bertanggung jawab dengan agama yang diyakini tersebut.
Sifat demokrasi yang tumbuh dalam keluargaku inilah, mempermudah langkahku dalam pencarian keyakinan yang mendektai kebenaran yang hakiki. Semua agama memang sama. Agama adalah persoalan keyakinan, yang dipercaya mampu membawa kemaslahatan. Membawa kita kearah kebaikan. Sebuah pedoman agar kita tidak tersesat. Dan persoalan ketenangan batin.
Tetapi begitulah yang namanya hidayah jika sudah atas kehendak-Nya, insya Allah dijalani dengan sebaik-baiknya oleh umat yang menjalaninya. Setelah saya memeluk agama Islam, saya tidak ingin mengganti namaku, karena akan berefek pada semua identitasku yang formal seperti keterangan di rapor sekolahku. Biarlah namaku seperti yang sekarang. Toh tidak memberatkan.
Suatu hari di bulan Ramadan beberapa tahun silam, ketika itu saya masih duduk di bangku SMA kelas satu. Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang karena kekaguman yang sangat luar biasa. Ketika senja mulai turun, saat bedug magrib bertalu dan suara azan berkumandang, berbondong-bondong orang-orang bersatu untuk berbuka puasa dan shalat Maghrib. Lalu bersama-sama pula berangkat ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih. Alangkah indahnya kebersamaan itu, sambil mengenakan mukena warna putih. Pikirku alangkah sucinya saat menghadap Tuhan.
Lingkungan sekolahku pun ikut mendukung, teman-temanku hampir semua beragama Islam, tiba-tiba saya iri ingin menikmati kebersaman itu, yang sebelumnya tidak saya temui di agama keyakinan terdahulu. Saya ingin merasakan bagaimana puasa, bagaimana mendirikan shalat Tarawih bersama-sama. Pertama-tama saya minta dituntun teman, tetapi lama-kelamaan saya memperoleh kekuatan untuk bicara pada kedua orang tuaku. Sampai suatu hari saya sampaikan niat untuk memeluk agama Islam. Kaget juga saat niat baik itu disampaikan, terutama saya melihat reaksi ibu dan ayah.
Lama mereka terdiam. Kami tanpa kata-kata.
Akhirnya ibu berkata tulus, kalau kamu sudah yakin dengan pilihanmu, jangan sampai mempermainkan agama. Dan asalkan kamu menjalankannya dengan segala tanggung jawab silakan saja. Saya tahu ibu berat melepas anaknya untuk berseberangan keyakinan dengan dirinya. Mungkin ibu menyadari, di antara mereka (ayah dan ibu) saja sudah berseberangan, tetapi bisa hidup rukun.
Saya seperti memperoleh setetes air dipadang pasir yang gersang. Air itu saya teguk dengan lahap, dan berdesis Allahu Akbar tanpa sadar saya bersujud, karena kedua orang tuaku ternyata merestui akan pilihan keyakinanku. Sebelumnya memang sudah saya bayangkan tidak akan sulit saya peroleh, karena kehidupan beragama dalam keluargaku sudah tampak berwarna sejak sebelum saya dilahirkan ke bumi. Maka begitu saya memperoleh izin dan tanpa ada intervensi dari pihak luar, sejak itulah saya mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibimbing oleh seorang pemuka agama di Solo. Sejak itulah saya terus belajar sendiri dan banyak bertanya pada teman-teman sepergaulanku.
Ketika saya putuskan untuk memeluk agama Islam, saya tidak dalam posisi dipengaruhi oleh siapa pun, dan tidak juga oleh pacar yang kebetulan sekarang ini sama-sama beragama Islam. Karena waktu itu saya belum bertemu Mas Endy (30). Oleh sebab itu agama dalam keluargaku sekarang ini semakin berwarna. Tetapi tetap rukun dalam tiga agama yang dianut, ada Islam, ada Katolik, dan Protestan.
Sekarang dalam perjalanan keislaman saya yang masih banyak kekurangannya, tidak henti-hentinya saya selalu memohon bimbingan-Nya agar saya senantiasa diberi kekuatan untuk menjalankan agamaku dengan sepenuh hati. Puasa yang kini saya jalani di Jakarta, memang nikmat, tetapi lebih nikmat saya menjalankan puasa itu di rumah sendiri di Solo. Kalau di Solo, ibu selalu ikut bangun memasak dan membangunkan untuk sahur, padahal ibu agamanya tidak sama dengan saya. Saya terkadang rindu masakan ibu, saat-saat puasa seperti sekarang ini.
Di sini di Jakarta, saya masak seadanya, banyaknya beli jadi. Dan kebanyakan pula disediakan di Indosiar untuk mengisi acara "Pondok AFI" saat sahur menjelang. Saya hanya selalu berusaha agar puasa yang saya lakukan tiap tahun meningkat kadar kualitas menjalankannya. Dan berharap dosa-dosa yang pernah diperbuat dapat diampuni Allah SWT. Amin.